
BANGKA BELITUNG, Berita Top Line – Siapakah yang Benar-Benar di Pihak Masyarakat?. Bulan kemerdekaan seharusnya menjadi momen refleksi dan hadiah bagi bangsa Indonesia.
Namun, di tengah semangat memperingati hari bersejarah ini, muncul pertanyaan besar: apakah Indonesia masih setia pada cita-cita hukum dan konstitusi yang dahulu menjadi fondasi kemerdekaan?
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menegaskan bahwa tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
Namun, realitas di lapangan kerap memperlihatkan sebaliknya: masyarakat justru merasa tidak terlindungi. Pertanyaannya, jika aparat penegak hukum belum sepenuhnya hadir menjaga, lalu siapa yang sebenarnya berada di pihak masyarakat?
Sejak zaman Romawi, adagium hukum “Ubi societas ibi ius” yang diperkenalkan Marcus Tullius Cicero menegaskan: di mana ada masyarakat, di situ ada hukum.
Artinya, hukum hadir bukan sekadar norma tertulis, melainkan instrumen untuk menjaga ketertiban, melindungi, dan menciptakan keadilan.
Namun, sebagai mahasiswa hukum, saya melihat adagium ini semakin kehilangan makna. Keadilan terasa jauh dari jangkauan, bahkan diibaratkan lebih sulit ditemui daripada seekor unta melewati lubang jarum, terlebih bagi rakyat kecil yang tidak memiliki status sosial atau kekuatan ekonomi.
Indonesia sejatinya telah memiliki landasan hukum yang menjamin hak-hak warga negara, termasuk Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia. Sistem ketatanegaraan melalui konsep trias politica—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—dibangun untuk memastikan pembagian kekuasaan, mencegah dominasi satu pihak, dan mengedepankan kepentingan rakyat.
Eksekutif menjalankan pemerintahan, legislatif mengawasi sekaligus membentuk kebijakan, sementara yudikatif menegakkan keadilan melalui peradilan. Semua itu sejatinya bertujuan agar kekuasaan tetap berada di tangan rakyat.
Namun kenyataan saat ini justru menimbulkan tanda tanya besar: mengapa rakyat kerap diposisikan sebagai beban negara, bukan pemegang kedaulatan tertinggi? Apakah masalah ini bersumber dari sistem yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau dari para pengelola negara yang abai terhadap amanah?
Pertanyaan ini terutama tertuju pada lembaga eksekutif dan para wakil rakyat yang seharusnya mengemban tugas mewakili suara publik.
Apakah mereka benar-benar menjalankan mandat dengan penuh tanggung jawab, atau hanya sekadar mengisi kursi kekuasaan tanpa kepedulian pada masyarakat?
Di momen kemerdekaan ini, kita perlu mengingat kembali bahwa kemerdekaan bukan sekadar seremonial, melainkan amanah untuk menjaga rakyat. Negara tidak boleh menjauh dari rakyatnya. Karena tanpa rakyat, tidak ada legitimasi bagi kekuasaan itu sendiri.
Oleh: Julia Br. Perangin
Anggota PERMAHI Babel