Putusan Sengketa Tanah Pemelisan Agung: Pakar Hukum Kritik Hakim

Tanah Pemelisan Agung
Kekeliruan dalam Putusan Sengketa Tanah Pemelisan Agung, Pakar Hukum Soroti Keputusan Hakim

TOP LINE – Badung, Bali – Sengketa tanah Pemelisan Agung, Desa Tibubeneng, Badung, kembali memanas dengan adanya putusan banding dari Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Mataram.

Putusan ini mendukung tergugat, yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN) Badung dan pihak-pihak terkait, sehingga membatalkan putusan PTUN Denpasar yang sebelumnya mengabulkan tuntutan Lenny Yuliana Tombokan sebagai penggugat.

Namun, kasus ini belum berkekuatan hukum tetap karena Lenny telah mengajukan kasasi.

Tanah Pemelisan Agung
Kekeliruan dalam Putusan Sengketa Tanah Pemelisan Agung, Pakar Hukum Soroti Keputusan Hakim

Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum., mengkritik keputusan PTTUN Mataram dan menilai terdapat kekeliruan dalam interpretasi hukum yang dilakukan oleh majelis hakim.

Menurutnya, hakim cenderung memperlakukan kasus ini sebagai perkara perdata, padahal substansi utama adalah masalah administrasi pemerintahan terkait penerbitan sertifikat tanah, yang seharusnya ditangani berdasarkan hukum Tata Usaha Negara (TUN).

“Majelis hakim tampaknya kurang memahami ranah TUN, dan kesalahan ini berpotensi mencederai asas keadilan,” ujar Prof. Margarito.

Asas Legalitas dan Kecermatan di PTUN

Prof. Margarito menjelaskan bahwa dalam hukum administrasi negara, penerbitan sertifikat harus sesuai dengan prinsip-prinsip legalitas dan kecermatan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.

Prinsip legalitas mewajibkan semua tindakan administrasi untuk sesuai dengan hukum yang berlaku, sementara prinsip kecermatan mengharuskan pihak administrasi melakukan verifikasi menyeluruh terhadap objek yang akan disertifikatkan.

“Apakah objek sengketa ini sudah diperiksa dengan teliti, termasuk batas-batasnya, status hukumnya, serta apakah ada sengketa atau perjanjian jual-beli di atas tanah tersebut?” ujar Margarito mempertanyakan proses yang dilakukan BPN dalam menerbitkan sertifikat untuk tergugat.

Ranah Peradilan TUN, Bukan Perdata

Margarito menekankan bahwa sengketa ini seharusnya berada dalam kompetensi eksklusif peradilan TUN, yang memiliki wewenang untuk memeriksa keabsahan tindakan administrasi negara, seperti penerbitan sertifikat.

“Hanya peradilan TUN yang dapat menguji tindakan tata usaha negara, bukan peradilan perdata. Karena itu, putusan PTTUN Mataram seharusnya lebih mencermati aspek administrasi, bukan menjadikannya permasalahan perdata yang berfokus pada bukti kepemilikan,” jelas Margarito.

Hak Kasasi dan Implikasi Hukum

Saat ini, Lenny Yuliana Tombokan menggunakan hak kasasi, sehingga status putusan banding belum final. Menurut Margarito, jika kasasi dikabulkan, maka putusan PTUN Denpasar yang membatalkan sertifikat para tergugat akan kembali berlaku. Sebaliknya, jika kasasi ditolak, Lenny wajib tunduk pada putusan PTTUN Mataram.

Margarito pun menepis anggapan bahwa penggugat harus segera angkat kaki dari lokasi tanah tersebut.

“Tidak ada dasar hukum yang memaksa Lenny untuk meninggalkan lokasi selama proses kasasi belum selesai. Klaim semacam itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,” tegasnya.

Kasus ini menjadi contoh penting tentang pentingnya kejelian dan pemahaman mendalam hakim dalam menginterpretasikan hukum administrasi.

Putusan yang tepat akan memperkuat prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum di tengah masyarakat.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *