Pajak, Politik, dan Kesadaran Bela Negara Oleh: Widdy Muhammad Sabar Wibawa (Pleton 2, ToF Batch 33-2025)

Pajak, Politik, dan Kesadaran Bela Negara  Oleh: Widdy Muhammad Sabar Wibawa (Pleton 2, ToF Batch 33-2025)

BERITA TOP LINE – Nilai atau skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia yang baru dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) masih masuk dalam kategori rendah. Terakhir di tahun 2024, nilai CPI Indonesia memang naik tiga poin menjadi 37 dari 180 negara yang disurvei, jika dibandingkan dengan tahun 2022 dan 2023. Akan tetapi, untuk lingkup negara-negara di ASEAN, indeks CPI Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan Singapura (83), Malaysia (47), dan Vietnam (42).

Di sisi lain, Survei Penilaian Integritas (SPI) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan skor 71,53 untuk integritas nasional pada hasil survei terakhir tahun 2024. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih rentan korupsi, walaupun skor SPI ini meningkat dibandingkan tahun 2021 hingga 2023 yang cenderung menurun.

Hasil CPI dan SPI di atas dapat menjadi indikasi perbaikan sistem hukum di Indonesia. Akan tetapi, masih sangat terbuka ruang untuk perbaikan, terutama reformasi birokrasi dan transparansi dalam tata kelola pemerintahan. Lebih lanjut, data CPI Indonesia tahun yang sama menunjukkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan institusi yang relatif sering tersandung kasus korupsi.

Oleh sebab itu, bukan hal yang mengejutkan apabila Indonesia dan perangkat hukum yang ada harus melihat dengan serius permasalahan ini jika ingin menciptakan negara dengan integritas yang lebih baik.

Menurut hemat penulis, terdapat instrumen yang sangat powerful yang dapat diberdayakan untuk mencegah tindak pidana korupsi di sektor politik, khususnya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh sebagian anggota DPR maupun DPRD, yaitu instrumen perpajakan. Dalam konteks tulisan ini, perpajakan yang dimaksud adalah pajak pusat, yaitu Pajak Penghasilan (PPh).

Pajak merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pajak menyumbang sekitar 70% penerimaan negara. Akan tetapi, selain sebagai sumber penerimaan utama, pajak juga memiliki fungsi mengatur dalam berbagai aspek, termasuk keuangan negara dan hal-hal lain yang bersifat strategis.

Dalam konteks ini, pajak dapat digunakan sebagai alat pengatur di bidang politik, yaitu untuk mencegah tindak pidana korupsi, khususnya di sektor politik, dengan menjadikan pajak sebagai instrumen pencegah tindak pidana korupsi bagi para anggota DPR maupun DPRD.

Berdasarkan beberapa sumber, total take home pay (THP) seorang anggota dewan rata-rata berkisar sekitar Rp65.000.000 per bulan. Jika diproyeksikan untuk periode lima tahun masa jabatan, maka total THP selama masa jabatan adalah sekitar Rp3.900.000.000.

Namun, dari berbagai sumber pemberitaan, biaya atau ongkos politik untuk menjadi seorang anggota DPR membutuhkan modal yang sangat besar. Rata-rata ongkos politik berkisar antara 1–2 miliar rupiah. Sementara menurut penelitian LPM FEB UI untuk Pemilu 2024, ongkos politik mencapai 1,15 hingga 4,6 miliar rupiah. Bahkan, ada sumber lain yang mencatat bahwa beberapa calon menghabiskan dana kampanye hingga belasan miliar.

Jika dilihat dari data tersebut, apakah masuk akal seseorang mengeluarkan modal politik yang lebih besar daripada proyeksi penghasilan resminya selama menjabat? Tentu tidak masuk akal. Proyeksi penghasilan kotor selama lima tahun berkisar 3–6 miliar rupiah, tetapi ongkos politik untuk mendapat jabatan tersebut bisa mencapai 4 miliar atau bahkan lebih dari penghasilan totalnya.

Dari sini, wajar jika timbul kecurigaan mengenai bagaimana seorang anggota dewan mengganti ongkos politik tersebut. Apalagi bagi mereka yang tidak terpilih, padahal sudah mengeluarkan biaya kampanye besar.

Lalu, langkah antisipasi atau solusi apa yang dapat ditawarkan pajak sebagai instrumen negara untuk mencegah korupsi, khususnya di sektor politik?

Dalam Pajak Penghasilan, setiap warga negara yang memenuhi syarat wajib melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi sebagai sarana pelaporan hak dan kewajiban perpajakan setiap tahun. Penulis melihat bahwa anggota dewan sebagai bagian dari instrumen utama negara demokrasi harus memahami perannya sebagai komponen bela negara, salah satunya dengan tidak melakukan korupsi.

Penulis mengusulkan bahwa SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dapat digunakan sebagai alat deteksi awal pencegahan korupsi. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah:

1. Kepatuhan SPT menjadi syarat menjadi calon legislatif.

Setiap warga negara yang hendak mencalonkan diri wajib clear dari masalah SPT. Minimal harus patuh melaporkan SPT selama lima tahun terakhir.

2. Batas ongkos politik berdasarkan kemampuan ekonomi calon.

Ongkos politik tidak boleh melebihi kemampuan ekonominya, yang dibuktikan dari SPT Tahunan. Misalnya, ongkos politik dibatasi maksimal 50% dari rata-rata penghasilan lima tahun terakhir, ditambah 25% dari nilai aset yang dilaporkan dalam SPT.

3. Daftar harta dan kewajiban dalam SPT dipublikasikan.

Untuk kepentingan pencegahan korupsi, daftar harta dalam SPT dapat bersifat terbuka. Dengan demikian, LHKPN bisa dihapuskan untuk menghindari duplikasi laporan dan beban administrasi berlebih.

Namun, ada prasyarat yang harus disiapkan untuk menjalankan sistem tersebut:

1. Pemerintah harus memperkuat institusi perpajakan, PPATK, dan KPK serta memastikan mekanisme koordinasi yang bebas dari intervensi politik.

2. Harus disusun perangkat peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum mekanisme ini.

3. Penegakan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu atas pelanggaran perpajakan maupun tindak pidana korupsi.

Apabila mekanisme ini berjalan, pajak dapat menjadi sarana pencegahan korupsi sekaligus memperluas basis pajak. Selain itu, bagi para calon anggota DPR, mekanisme ini membantu mereka merencanakan keuangan secara sehat, menghindari potensi korupsi, dan menjauhi tindakan irasional seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Dengan demikian, menjadi anggota dewan tetap menjadi posisi terhormat, bebas dari perilaku koruptif, dan mampu fokus membantu negara mencapai tujuan nasional — yang sejatinya merupakan bagian dari perilaku bela negara.

Penulis: Widdy Muhammad Sabar Wibawa
Pemerhati Kebijakan Publik Dan Fasilitator Pendidikan Bela Negara

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *