Warga Protes! Pemkab Bogor Bahas Tata Ruang Cisarua di Luar Wilayah Tanpa Libatkan Masyarakat

Warga Protes! Pemkab Bogor Bahas Tata Ruang Cisarua di Luar Wilayah Tanpa Libatkan Masyarakat

Bogor, TOP LINE — Gelombang kritik muncul dari masyarakat Puncak, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, setelah mengetahui pembahasan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) wilayah mereka dilakukan di luar Cisarua, tepatnya di Hotel Lorin Sentul pada Senin, 27 Oktober 2025.

Keputusan ini dinilai tidak transparan dan mencederai prinsip partisipasi publik sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Warga menilai, forum penting yang membahas masa depan ruang hidup masyarakat seharusnya digelar di wilayah yang relevan, yaitu di Puncak, agar mudah diakses oleh penduduk lokal. Keputusan menggelar rapat di luar wilayah dianggap menjauhkan masyarakat dari proses pengambilan keputusan publik yang berdampak langsung pada kehidupan mereka.
Sekretaris Karukunan Wargi Puncak (KWP), Dede Rahmat, menegaskan bahwa RDTR bukan hanya urusan teknis pembangunan, melainkan menyangkut masa depan tata ruang hidup warga.

“Kalau yang dibahas masa depan Cisarua, ya seharusnya dibahas di Cisarua. Biar masyarakat bisa datang, dengar, dan bicara. Ini bukan hanya soal rapat, tapi soal rasa memiliki wilayah sendiri,” ujarnya.

Dede menilai, kebijakan yang diambil tanpa melibatkan masyarakat berpotensi menimbulkan ketimpangan baru.

“Jika pembahasannya saja jauh dari masyarakat, bagaimana mungkin hasilnya berpihak kepada warga? Pembangunan tanpa mendengar suara rakyat justru menjadi sumber masalah,” tegasnya.

Ia menambahkan, masyarakat Puncak tidak menolak pembangunan, namun menuntut agar prosesnya dilakukan secara terbuka, berimbang, dan berkeadilan. “Kami ingin transparansi dan keadilan. Jangan hanya mengedepankan kepentingan ekonomi, tapi abaikan kelestarian lingkungan dan kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidup di kawasan ini,” imbuhnya.

Nada serupa disampaikan oleh Mochammad Hasbi, tokoh masyarakat sekaligus Sekretaris MWC NU Kecamatan Cisarua. Ia menilai langkah Pemkab Bogor menunjukkan kurangnya empati terhadap masyarakat lokal.

“Bagaimana warga mau memberi masukan kalau pembahasan RDTR dilakukan jauh dari tempat tinggal mereka? Pemerintah seharusnya hadir di tengah masyarakat, bukan menjauh,” ungkap Hasbi.

Menurutnya, RDTR memiliki dampak jangka panjang terhadap pola sosial, lingkungan, dan ekonomi warga. Karena itu, pelibatan masyarakat menjadi keharusan hukum sesuai dengan Pasal 65 Ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

“Jika masyarakat tidak dilibatkan sejak awal, risikonya besar. Kebijakan bisa tidak sesuai dengan karakter wilayah dan kebutuhan masyarakat,” tambahnya.

Menutup pernyataannya, Dede menyerukan solidaritas warga agar tetap kritis dan kompak dalam menjaga wilayah Puncak.
“Untuk warga Puncak Cisarua, Miwah Anom tur Sepuhna, mari bersatu. Kita harus jaga alam dan hak kita bersama. Jangan biarkan masa depan wilayah kita ditentukan tanpa suara kita,” tegasnya.

Masyarakat berharap Pemkab Bogor memperbaiki pola komunikasi publik dan membuka ruang partisipasi yang nyata dalam setiap tahapan penyusunan kebijakan tata ruang. Karena masa depan Puncak, tegas warga, harus dibicarakan di Puncak bersama rakyat Puncak — bukan di luar wilayahnya.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *