JAKARTA, Top Line — Komdigi Dinilai Abaikan Kedaulatan Pers dan Kepastian Hukum Wartawan. Pernyataan ini disampaikan oleh Kostaman, SH., Pemimpin Redaksi Berita Top Line, sebagai bentuk kritik terhadap langkah pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), Nomor Perkara 145/PUU-XXIII/2025.
Menurut Kostaman, langkah pemerintah ini bukan hanya melemahkan posisi pers, tetapi juga berpotensi mengikis kedaulatan hukum profesi wartawan yang dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945 tentang hak memperoleh dan menyampaikan informasi.
Kritik Terhadap Sikap Pemerintah
Dalam sidang di MK, Senin (6/10/2025), Dirjen Komunikasi Publik dan Media Komdigi, Fifi Aleyda Yahya, mewakili pemerintah untuk meminta agar MK menolak seluruh permohonan uji materi dari pemohon, yakni Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum).
Fifi juga menilai bahwa Iwakum tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk menggugat UU Pers tersebut.
Menanggapi hal itu, Kostaman menilai sikap Komdigi sebagai bentuk arogansi birokrasi yang berpotensi mengebiri kemerdekaan pers.
“Alih-alih memperkuat perlindungan hukum bagi wartawan, pemerintah justru seolah menutup ruang koreksi publik terhadap norma yang kabur. Ini berbahaya bagi demokrasi,” tegasnya.
Pasal 8 UU Pers dan Masalah Interpretasi
Fifi beralasan bahwa Pasal 8 UU Pers sudah jelas dan bersifat open norm (norma terbuka) sehingga tidak multitafsir.
Namun, Kostaman menilai pandangan tersebut tidak sejalan dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana dimandatkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechstaat).
“Jika norma hukum dibiarkan terbuka tanpa batas interpretasi yang jelas, maka wartawan tidak memiliki perlindungan hukum konkret sebagaimana dimiliki profesi lain seperti advokat dan jaksa,” ungkap Kostaman.
Sebagai pembanding, ia mencontohkan Pasal 16 UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 dan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan Nomor 11 Tahun 2021, yang secara eksplisit melindungi profesi tersebut dari tuntutan hukum saat menjalankan tugas profesionalnya.
Pers Butuh Kepastian, Bukan Janji Kosong
Menurut Kostaman, perlindungan hukum terhadap wartawan bukan sekadar jargon kebebasan pers, tetapi merupakan jaminan konstitusional.
Ia menegaskan bahwa UU Pers harus memberikan kepastian hukum substantif, bukan hanya norma terbuka yang menimbulkan tafsir ganda.
“Ketika wartawan dilindungi secara jelas dalam menjalankan fungsi kontrol sosial, maka rakyat juga ikut dilindungi dari potensi penyalahgunaan kekuasaan,” tambahnya.
Ia menilai, penolakan Komdigi terhadap uji materi ini sama saja dengan mengabaikan prinsip checks and balances dalam sistem demokrasi Indonesia.
Pers Sebagai Pilar Kedaulatan Rakyat
Kostaman menegaskan, posisi pers bukan sekadar profesi, melainkan pilar keempat demokrasi yang menjamin keterbukaan dan akuntabilitas publik.
Dengan demikian, negara seharusnya tidak menganggap uji materi ini sebagai ancaman, tetapi sebagai mekanisme hukum untuk memperkuat kualitas regulasi.
“Uji materi terhadap UU Pers adalah bagian dari hak konstitusional masyarakat dalam menguji norma hukum yang dianggap tidak memberikan keadilan. Menolaknya tanpa substansi adalah bentuk pembatasan hak hukum warga negara,” tegasnya.
Seruan untuk Pemerintah dan MK
Dalam penutupnya, Kostaman menyerukan agar Mahkamah Konstitusi tetap berdiri independen dan menjadikan uji materi ini sebagai momentum untuk menegaskan perlindungan hukum wartawan secara eksplisit dalam UU Pers.
Ia juga mendorong Komdigi agar tidak bersikap defensif terhadap kritik publik.
“Pers bukan musuh negara. Justru pers adalah mitra strategis dalam menjaga integritas bangsa. Jika wartawan terus dibiarkan tanpa kepastian hukum, maka demokrasi kita sedang berjalan tanpa rem,” pungkasnya.