BEKASI, Berita Top Line – Ratusan buruh di Kabupaten Bekasi kembali turun ke jalan pada Kamis (25/9/2025). Mereka tergabung dalam Persatuan Rakyat Kabupaten Bekasi (PERAK) dan Aliansi Buruh Bekasi Melawan.
Aksi dilakukan untuk mengawal sidang perdana Dewan Pengupahan Kabupaten Bekasi terkait penetapan upah 2026.
Koordinator Aliansi PERAK yang juga Ketua DPC Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI), Herman Susanto, menyebut aksi ini sebagai langkah awal perjuangan buruh.
Konvoi dimulai dari kawasan industri lalu berakhir di kantor Pemkab Bekasi, tempat audiensi dengan pemerintah daerah dan dewan pengupahan.
“Perjuangan ini untuk memastikan buruh mendapatkan kerja layak dan hidup layak. Realitas saat ini masih jauh dari harapan,” kata Herman.
Kritik atas UU Cipta Kerja
Herman menyoroti dampak UU Cipta Kerja yang dianggap merugikan buruh. Salah satunya terkait pengaturan upah yang tak lagi berbasis Kebutuhan Hidup Layak (KHL), tetapi diganti dengan formula yang membuat kenaikan upah stagnan.
Sejak diberlakukan, pemerintah telah dua kali mengubah aturan turunan soal upah. Namun, hasilnya justru membuat kenaikan upah di bawah 8 persen.
Tahun 2024, buruh Bekasi hanya mendapat kenaikan 1 persen, sementara pada 2025 naik 6,5 persen. Padahal sebelum adanya UU Cipta Kerja, rata-rata kenaikan di atas 10 persen.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan menegaskan variabel KHL, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu wajib kembali dimasukkan dalam formula upah. Namun implementasinya masih jauh dari harapan.
Tuntutan Kenaikan 15 Persen
Berdasarkan kajian tim Aliansi PERAK, upah buruh Bekasi 2026 seharusnya naik minimal 15 persen. Selain upah, mereka juga menyoroti pasal tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang diubah dari maksimal 3 tahun menjadi 5 tahun.
Perubahan ini dianggap merugikan karena menghambat pekerja memperoleh status tetap.
Masalah lain adalah perluasan sistem outsourcing. Hampir semua jenis pekerjaan kini bisa dialihdayakan, membuat kepastian kerja semakin rapuh. Buruh khawatir menjadi korban PHK sewaktu-waktu tanpa jaminan.
Maraknya Percaloan Tenaga Kerja
Persoalan lain yang disorot adalah praktik percaloan berkedok yayasan atau lembaga pelatihan kerja. Banyak calon buruh diminta membayar sejumlah uang agar bisa masuk kerja. Praktik ini kerap berujung penipuan, bahkan sudah beberapa kali diungkap kepolisian.
“Setelah masuk kerja pun hak buruh masih banyak yang dilanggar. Kontrak bisa diputus sewaktu-waktu, dan buruh kembali harus bersaing dari awal,” ujar Herman.
Persoalan Penyelesaian Sengketa
Dalam penyelesaian perselisihan, buruh menghadapi hambatan serius. Sesuai UU No. 2 Tahun 2024 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), penyelesaian sengketa harus melalui tahapan panjang. Selain memakan waktu, proses ini juga mahal karena hanya tersedia satu pengadilan hubungan industrial (PHI) di tingkat provinsi.
Di Bekasi, buruh harus ke Bandung untuk mengajukan gugatan. Kondisi ini menambah beban biaya dan waktu. Padahal, Pasal 59 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang PPHI mengamanatkan bahwa kabupaten/kota padat industri wajib memiliki PHI melalui keputusan presiden.
Desakan Bentuk PHI di Bekasi
Aliansi PERAK menuntut pemerintah segera membangun PHI di Kabupaten Bekasi. Langkah ini diyakini akan mempermudah akses keadilan buruh serta menekan biaya penyelesaian sengketa.
“Beberapa kali kami sudah audiensi ke pemerintah daerah, pengadilan, hingga Mahkamah Agung. Namun hasilnya masih sebatas janji. Kami menegaskan agar tuntutan ini benar-benar ditindaklanjuti,” tegas Herman.
Tuntutan Buruh
Dalam aksinya, buruh Bekasi menyampaikan lima tuntutan utama:
- Hentikan praktik pemagangan ilegal dan tindak tegas pengusaha yang menyalahgunakan sistem pemagangan.
- Bongkar dan pidanakan praktik percaloan tenaga kerja.
- Naikkan upah minimum 2026 sebesar 15 persen.
- Hapus sistem kontrak dan outsourcing yang tidak sesuai regulasi.
- Segera bangun Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Kabupaten Bekasi.