BERITA TOP LINE, Oleh Restu Palgunadi — Pendiri dan Ketua Umum Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Untuk Bangsa Indonesia (LBH KUBI)—mengajak kita menatap cermin besar bernama Indonesia di usia 80 tahun kemerdekaan.
Cermin itu menampakkan paradoks: negara yang menjanjikan keadilan sosial, namun masih membiarkan disparitas pemidanaan antara kejahatan berkerah putih dan pelanggaran ekonomi rakyat kecil.
Potret buram ini bukan sekadar persepsi. Pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan rata-rata vonis penjara perkara korupsi sepanjang 2023 hanya sekitar 3 tahun 4 bulan—jauh di bawah ancaman maksimum dalam UU Tipikor dan tidak sebanding dengan kerusakan sistemik yang ditimbulkannya.
Di sisi lain, KUHP lama (Pasal 362) memang mengatur ancaman maksimal 5 tahun untuk pencurian, dan sampai kini publik berkali-kali dikejutkan perkara “pencurian kecil” yang tetap dibawa ke proses pidana biasa.
Padahal, sejak 2012 Mahkamah Agung telah menetapkan ambang tindak pidana ringan (tipiring) untuk perkara seperti pencurian ringan: nilai kerugian sampai Rp2,5 juta diperiksa cepat oleh hakim tunggal dan pada prinsipnya tidak layak penahanan.
Norma ini juga telah diselaraskan dengan KUHP baru (UU 1/2023) yang menegaskan kembali kerangka “pencurian ringan”.
Faktanya, implementasi di lapangan tidak selalu konsisten. Sejumlah kajian menunjukkan masih terjadi penahanan atau penuntutan dengan pasal “biasa” untuk nilai kerugian di bawah ambang tipiring, menyebabkan disparitas dan ketidakpastian hukum yang memukul kelompok rentan.
Pada saat yang sama, kebijakan keadilan restoratif (Peraturan Jaksa Agung No. 15/2020) sebenarnya sudah memberi jalan keluar untuk perkara ringan dan relasi sosial yang bisa dipulihkan.
Namun, penerapannya masih dominan pada “perkara kecil”, belum menyentuh desain sistemik agar perkara kemiskinan tidak otomatis berujung pemenjaraan.
Kita juga tidak boleh menutup mata pada isu remisi dan pembebasan bersyarat untuk terpidana korupsi. PP 99/2012 memperketat syarat remisi koruptor, tetapi perdebatan dan perubahan kebijakan beberapa tahun terakhir menunjukkan betapa rentannya standar pencegahan “diskon hukuman” bagi pelaku kejahatan luar biasa ini. Transparansi dan konsistensi penerapannya harus diawasi ketat.
Di tingkat puncak peradilan, direktori putusan Mahkamah Agung menunjukkan ribuan putusan pidana khusus (termasuk korupsi) diputus dan diunggah tiap tahun. MA melaporkan total perkara yang diputus pada 2024 meningkat dibanding 2023.
Volume kerja bukan masalah utama—standar kualitas putusan, konsistensi, dan ‘deterrent effect’ yang menentukan rasa keadilan publik.

Koruptor jangan lagi diberi ruang hukuman ringan, sementara rakyat kecil terus dipenjara karena perkara sepele. Supremasi hukum sejati harus tegas pada kejahatan besar, manusiawi pada perkara kemiskinan. (Restu Palgunadi, Pendiri/Ketua Umum LBH KUBI dan Kepala Perwakilan Bangka Belitung Media Nasional Berita Top Line)
Agenda Pembenahan (Seruan LBH KUBI)
• Standar Pemidanaan Korupsi yang Lebih Tegas dan Terukur. MA bersama peradilan Tipikor perlu pedoman pemidanaan yang menaikkan baseline untuk nilai kerugian besar, memperhitungkan dampak sosial, dan membatasi ruang disparitas putusan yang terlalu lebar. Data ICW harus dijadikan pemantik koreksi diri.
• Konsistensi Tipiring & Decriminalization Perkara Kemiskinan. Pastikan perkara di bawah Rp2,5 juta masuk jalur tipiring secara default—tanpa penahanan—dan dorong mekanisme pemulihan (restitusi, kerja sosial) alih-alih pemenjaraan.
• Perluasan Keadilan Restoratif yang Bertanggung Jawab. Perja 15/2020 perlu dioperasionalkan lintas kepolisian–kejaksaan–pengadilan dengan indikator keberhasilan pemulihan korban, pencegahan residivisme, dan pengurangan overcrowding lapas.
• Pengetatan Remisi untuk Korupsi. Pertahankan syarat berat PP 99/2012 dan perjelas kriteria evaluasinya—termasuk kewajiban pengembalian kerugian negara sebagai prasyarat mutlak. Publik berhak atas dashboard transparansi remisi korupsi.
• Akselerasi Pemulihan Aset. Hukuman badan tanpa asset recovery tidak memberi efek jera. Kejaksaan, KPK, dan pengadilan perlu target pemulihan aset yang terukur dalam setiap putusan. (ICW mencatat denda dan uang pengganti masih belum optimal berbanding kerugian.)
• Transparansi Putusan dan Sentencing Database. Kembangkan basis data pemidanaan korupsi nasional yang terbuka, sehingga disparitas bisa dipetakan dan dikoreksi dengan kebijakan berbasis bukti.
• Jaring Pengaman Sosial-Hukum. Untuk kasus “bertahan hidup”—misalnya mencuri makanan/kayu bakar—negara harus hadir lewat skema bantuan dan mediasi sosial lebih dulu, agar hukum pidana menjadi ultimum remedium, bukan respons pertama.
Refleksi 80 tahun merdeka menuntut keberanian membongkar paradoks. Korupsi merusak sekolah, puskesmas, irigasi, dan kesempatan anak-anak kita; karena itu, hukumnya harus pasti, berat, dan memulihkan kerugian.
Sementara itu, pada rakyat kecil yang tersandung karena kemiskinan, hukum harus proporsional, manusiawi, dan memulihkan relasi sosial. Itulah makna supremasi hukum yang berpihak pada keadilan substantif.
LBH KUBI berdiri bersama rakyat untuk mendorong agenda-agenda di atas: mengawal kebijakan, mendampingi warga, dan menagih konsistensi pada semua penegak hukum.
Di usia 80 tahun Republik, mari sempurnakan janji konstitusi: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia—bukan sekadar slogan, tetapi kenyataan dalam setiap putusan.