BERITA TOP LINE, Editorial – Program Sekber Wartawan Indonesia (SWI) yang mendorong wartawan untuk memiliki kompetensi tambahan sebagai paralegal, telah menimbulkan dinamika dan diskursus yang sehat di kalangan media dan pegiat hukum.
Namun demikian, menurut Erwin Rizkian—Founder Berita Top Line dan Depok Hits sekaligus Ketua Bidang Pariwisata & Budaya DPP SWI—program ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pers maupun peraturan hukum lainnya, selama dijalankan secara proporsional dan etis.
Sebagai organisasi profesi yang memayungi kerja jurnalistik dan pemberdayaan sosial, SWI melalui YLBH SWI telah mengambil langkah progresif dengan menyelenggarakan pelatihan dan sertifikasi paralegal secara resmi.
Ini tentu sejalan dengan semangat UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Permenkumham No. 3 Tahun 2021 yang membuka ruang partisipasi bagi masyarakat sipil, termasuk wartawan, untuk menjadi agen akses keadilan melalui jalur non-litigasi.
Namun demikian, ada catatan penting yang tidak boleh diabaikan: peran ganda wartawan-paralegal rentan pada tumpang tindih fungsi dan konflik kepentingan.
Oleh karena itu, redaksi Berita Top Line mendorong disusunnya Pedoman Etik Internal Wartawan-Paralegal, untuk menjaga profesionalisme dan integritas kedua profesi ini secara terpisah namun bersinergi.
Pedoman Etik Internal Wartawan-Paralegal SWI-YLBH
✅ 1. Pemisahan Peran Secara Tegas
• Wartawan tidak boleh bertindak sebagai paralegal dalam kasus yang diliputnya.
• Setiap peran dijalankan secara terpisah dan tidak dalam satu konteks peliputan atau advokasi yang sama.
✅ 2. Larangan Konflik Kepentingan
• Dilarang menulis atau menyiarkan berita yang menyangkut kasus yang sedang didampingi secara hukum sebagai paralegal.
• Dilarang menggunakan informasi jurnalistik untuk kepentingan hukum klien, dan sebaliknya.
✅ 3. Menjaga Independensi Pers
• Wartawan-paralegal tetap wajib menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
• Prinsip “cover both sides” tetap berlaku dalam peliputan, tanpa intervensi kepentingan dari klien hukum.
✅ 4. Transparansi Peran
• Identitas sebagai paralegal harus disampaikan secara terbuka saat menjalankan fungsi non-jurnalistik.
• Dalam kerja jurnalistik, status sebagai paralegal tidak digunakan sebagai pembenaran untuk memperoleh akses khusus atau tekanan terhadap narasumber.
✅ 5. Fungsi Paralegal Hanya Non-Litigasi
• Wartawan-paralegal hanya boleh melakukan edukasi hukum, mediasi sosial, dan advokasi administratif.
• Tidak boleh memberikan nasihat hukum litigatif atau bertindak sebagai pengacara di pengadilan.
✅ 6. Pencegahan Manipulasi Media
• Tidak menggunakan media untuk membentuk opini publik yang menguntungkan klien atau kasus yang sedang didampingi.
• Setiap pemberitaan harus berlandaskan pada verifikasi, keseimbangan informasi, dan fakta.
Sinergi Profesi untuk Kepentingan Publik
Jika dijalankan dengan benar, kolaborasi antara jurnalisme dan fungsi paralegal justru bisa memperluas makna pelayanan publik. Wartawan yang melek hukum berpotensi menjadi penyuluh hukum masyarakat, mediator dalam konflik horizontal, dan penghubung warga dengan akses keadilan—tanpa harus menanggalkan idealisme dan independensi pers.
Redaksi Berita Top Line menilai, inisiatif ini adalah praktik baik yang layak dikembangkan secara nasional, asalkan semua pihak mengedepankan etika, transparansi, dan pembatasan peran yang tegas.
SWI bersama YLBH SWI telah memulai langkah awal yang tepat, kini saatnya menjaganya tetap berada di rel profesionalisme.
Sebagaimana diungkapkan Erwin Rizkian, “Program ini bukanlah bentuk pelanggaran terhadap UU Pers, tapi bagian dari transformasi sosial wartawan dalam menjawab tantangan zaman.”