Dalam hukum positif Indonesia, bela negara didefinisikan sebagai tekad, sikap, perilaku, serta tindakan warga negara baik itu secara perseorangan maupun kolekti, untuk menjaga
kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dan negara dijiwai kecintaan kepada NKRI, Pancasila, dan UUD 1945. Definisi ini eksplisit termuat dalam UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN), termasuk
nilai dasar seperti cinta tanah air, setia pada Pancasila, rela berkorban, dan kemampuan awal bela negara.
Di ranah fiskal, APBN adalah instrumen utama kebijakan fiskal untuk mencapai tujuan nasional. APBN memiliki fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi, sekaligus perisai ketika
ekonomi terguncang. Dengan kata lain, mengamankan penerimaan dan menyalurkannya secara berkeadilan adalah bagian nyata dari bela negara di sektor keuangan.
Jika pertahanan negara menjaga kedaulatan teritorial, maka kebijakan fiskal menjaga kedaulatan fiskal untuk menjaga kemampuan negara membiayai agenda konstitusionalnya
secara berkelanjutan. Di sinilah pegawai pajak (DJP) bertindak sebagai punggawa keuangan negara. Para pegawai pajak harus memastikan penerimaan yang adil dan cukup, melindungi
kerahasiaan data, memperkuat kepatuhan, serta menutup celah penghindaran pajak. Landasan etik dan normatifnya jelas yaitu Nilai-Nilai Kemenkeu (Integritas, Profesionalisme,
Sinergi, Pelayanan, Kesempurnaan) dan Kode Etik Pegawai DJP. Mengapa Bela Negara Relevan bagi Pegawai Pajak
Pertama, penerimaan pajak adalah public good enabler. Pajak membiayai sekolah, jalan, Puskesmas, pertahanan, dan jaring pengaman sosial. Ketika pegawai pajak bekerja
profesional dan berintegritas, APBN terjaga keberlanjutannya (fiscal sustainability) sehingga fungsi APBN bisa berjalan dengan baik.
Kedua, literatur empiris menunjukkan moral pajak (tax morale) yakni keyakinan normatif bahwa membayar pajak itu benar dan adil, berkorelasi positif dengan kepatuhan. Studi mutakhir (2024–2025) menekankan pentingnya keadilan, kepercayaan pada pemerintah, dan edukasi publik; bahkan kanal digital pemerintah memperkuat kepatuhan ketika dikombinasikan dengan moral pajak yang baik. Ini memperkokoh bahwa tugas edukasi dan
pelayanan DJP juga merupakan tindakan bela negara yang bersifat preventif. Ketiga, reformasi perpajakan termasuk Coretax/PSIAP adalah strategi defense in depth untuk fiskal, memodernisasi administrasi, menutup peluang penyalahgunaan, dan meningkatkan transparansi tanpa mengorbankan kerahasiaan data. Ini adalah pilar kelembagaan agar negara berdaya membiayai tujuan berbangsa.
Tiga Praktik Aplikatif Bela Negara untuk Pegawai Pajak
1. Menjaga Kerahasiaan Data sebagai Benteng Kepercayaan Publik
Bagi aparat pajak, kerahasiaan data Wajib Pajak (WP) bukan sekadar kewajiban hukum—tetapi bentuk penghormatan terhadap hak warga negara. Pasal 34 UndangUndang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menegaskan bahwa setiap pejabat pajak wajib merahasiakan segala hal yang diketahui atau diberitahukan oleh WP. Pelanggarannya bahkan diancam sanksi pidana. Namun lebih dari itu, menjaga kerahasiaan data adalah bagian dari bela negara dalam ruang digital.
Seperti pernah disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, bahwa “kepercayaan publik adalah aset utama administrasi perpajakan modern; sekali rusak, seluruh sistem kehilangan legitimasi” (DJP, 2024). Dalam konteks ini, pegawai pajak berperan sebagai penjaga benteng kepercayaan publik. Mereka memastikan setiap akses data hanya berdasarkan prinsip need-to-know, menggunakan sistem zero trust architecture, serta melakukan jejak audit (audit trail) yang ketat.
Bahkan dalam kegiatan penelitian (e-Riset DJP), proses perizinan penggunaan data melewati lapisan verifikasi untuk memastikan tidak ada data sensitif yang bocor. Praktik ini menegaskan bahwa keamanan informasi adalah bagian dari kedaulatan fiskal karena tanpa kepercayaan, tidak ada penerimaan pajak yang berkelanjutan.
Sri Mulyani Indrawati, Mantan Menteri Keuangan RI dalam Pidato Refleksi Akhir Tahun 2023 pernah menyampaikan bahwa “Menjaga kerahasiaan data berarti menjaga marwah negara,”
2. Menegakkan Integritas dan Kode Etik sebagai “Rules of Engagement”
Dalam sistem pertahanan nasional, tentara punya aturan tempur. Dalam dunia fiskal, pegawai pajak memiliki Kode Etik dan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan sebagai rules of engagement. Kode Etik DJP menuntut sikap objektif, berhati-hati, profesional, dan rahasia, sedangkan nilai-nilai Kemenkeu Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan menjadi kompas moral dalam setiap pengambilan keputusan. Implementasinya nyata di lapangan
• setiap pegawai wajib melakukan conflict of interest disclosure,
• rotasi jabatan rawan dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang,
• dan pelatihan integritas wajib (mandatory training) dilaksanakan agar nilai-nilai bela negara menjiwai perilaku sehari-hari.
Peneliti Dahlan (2024) dalam Understanding Tax Morale menulis bahwa integritas aparat pajak memiliki korelasi langsung dengan tingkat tax morale masyarakat. Ketika fiskus jujur, publik pun percaya. Maka, menegakkan etika bukan semata menjaga reputasi instansi, melainkan bagian dari pertahanan moral bangsa.
3. Mendorong Kepatuhan Sukarela lewat Edukasi dan Komunikasi Publik
Pajak tidak hanya soal angka, tetapi tentang rasa percaya dan pemahaman. Di sinilah bela negara diwujudkan dalam bentuk edukasi publik. Riset Rahmawati (2025) menemukan bahwa edukasi pajak melalui media sosial pemerintah dapat meningkatkan kepatuhan sukarela bila disertai narasi transparansi dan keadilan.
Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak semakin aktif mengembangkan tax class tematik untuk pelajar, UMKM, dan profesional muda. Melalui kanal resmi seperti Instagram DJP, YouTube “Pajak Bertutur”, dan portal pajak.go.id, pegawai pajak menjadi duta bela negara di dunia maya.
DJP juga membangun feedback loop dengan masyarakat, menjawab pertanyaan umum (FAQ), dan menjelaskan secara sederhana bagaimana pajak kembali kepada rakyat lewat cerita APBN: membangun sekolah, jalan, dan layanan kesehatan. Pendekatan ini sejalan dengan filosofi “Pajak Kita, Untuk Kita”. Seorang pegawai pajak
bukan hanya penegak regulasi, tetapi pencerita bangsa yang menghubungkan angkaangka dalam APBN dengan wajah anak sekolah, pasien di rumah sakit, atau petani yang mendapat pupuk bersubsidi.
Mengukur Dampak: Indikator Bela Negara ala Fiskal
Pengukuran dampak penerapan bela negara dalam pelaksanaan tugas punggawa fiskal menjadi aspek penting yang perlu terus dilakukan secara berkelanjutan. Dampak penerapan bela negara pegawai pajak dapat diukur melalui:
a. Aspek Kepatuhan Sukarela: pertumbuhan on-time filing, on-time payment, dan
voluntary disclosure pasca edukasi bertema keadilan. Dahlan (2024) menegaskan
kaitan aspek kepatuhan sukarela ini terhadap tax morale.
b. Aspek Kepercayaan Publik: survei trust in tax authority yang diulang tiap tahun;
korelasinya dengan engagement kanal resmi.
c. Integritas Internal: jumlah pelanggaran etik per 1.000 pegawai, waktu tanggap penanganan, dan tingkat penyelesaian whistleblowing.
d. Ketahanan Fiskal: rasio perpajakan (tax ratio) dan elastisitas penerimaan terhadap PDB ditafsir bersama kebijakan belanja dan siklus ekonomi (fungsi stabilisasi APBN).
e. Ketertiban Data: audit trail akses data, incident rate kebocoran = 0, serta kepatuhan SOP berbagi data lintas instansi via e-Riset.
Menyulam Bela Negara ke dalam DNA Pelayanan Pajak Bela negara bukan monopoli seragam militer; ia juga etos sipil. Ketika pegawai pajak memastikan sistem yang sederhana dan adil, menjaga rahasia Wajib Pajak, dan menggunakan teknologi untuk pelayanan yang setara bagi semua, mereka sesungguhnya mengukuhkan kedaulatan fiskal Indonesia.
Itulah bela negara dalam praktik: mengamankan penerimaan secara berintegritas untuk mewujudkan janji konstitusional melalui APBN.
Agenda ini menuntut disiplin etik (kode etik & nilai Kemenkeu), ketangkasan institusional (reformasi & Coretax), dan public communication yang konsisten (membangun tax morale dan trust). Dengan demikian, pegawai pajak berdiri sebagai punggawa keuangan negara—barisan terdepan pertahanan fiskal Indonesia
Referensi
Badan Kebijakan Fiskal. (2023). Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan (KEK): Reformasi
Perpajakan dan Kepatuhan Wajib Pajak. Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
https://fiskal.kemenkeu.go.id/kek
Dahlan, A. (2024). Understanding Tax Morale: A Critical Review. KnE Social Sciences,
2024(2), 115–128. https://doi.org/10.18502/kss.v9i2.15525
Direktorat Jenderal Pajak. (2024). Kerahasiaan Data Wajib Pajak dan Tata Kelola e-Riset
DJP. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. https://www.pajak.go.id/id/e-riset
Direktorat Jenderal Pajak. (2024). Kode Etik dan Perilaku Pegawai Direktorat Jenderal
Pajak. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. https://www.pajak.go.id/id/kode-etikpegawai-djp
Direktorat Jenderal Pajak. (2024). Reformasi Perpajakan dan Modernisasi Sistem Inti
Administrasi Perpajakan (Coretax/PSIAP). Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
https://www.pajak.go.id/id/reformasi-perpajakan
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Nilai-Nilai Kementerian Keuangan:
Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan.
https://www.kemenkeu.go.id/profil-kemenkeu/nilai-nilai-kemenkeu
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024). Peran APBN sebagai Instrumen
Kebijakan Fiskal untuk Mencapai Tujuan Nasional. Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
https://www.djpb.kemenkeu.go.id/portal/id/berita/berita-umum/
Rahmawati, F. (2025). The Interplay Between Social Media and Tax Morale: Evidence from
Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, 12(1), 77–94. Universitas Islam Indonesia.
https://doi.org/10.20885/jebi.vol12.iss1.art6
Republik Indonesia. (2019). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 186.
Republik Indonesia. (2021). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246.




