
BOGOR, Berita Top Line – Ribuan pekerja di kawasan wisata Puncak, Kabupaten Bogor, kini berada di persimpangan nasib. Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mengeluarkan teguran hingga ancaman penutupan usaha dinilai berpotensi memicu gelombang pengangguran baru.
Kawasan Puncak selama ini dikenal sebagai pusat wisata dan penggerak ekonomi lokal. Namun keputusan KLHK terhadap sejumlah perusahaan, baik yang bekerja sama dengan PTPN maupun yang berdiri mandiri, menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pekerja dan masyarakat sekitar.
Ribuan Pekerja Terancam Kehilangan Penghasilan
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Bogor Selatan, Azet Basuni, menilai kebijakan tersebut ibarat melempar batu ke air tenang. Menurutnya, bukan hanya perusahaan yang terdampak, tetapi ribuan keluarga pekerja yang menggantungkan hidup dari sektor pariwisata dan usaha pendukung.
“Kalau usaha ditutup, ribuan orang akan kehilangan penghasilan. Mereka akan makan apa? Rakyat kecil butuh solusi, bukan ancaman,” tegas Azet.
Perusahaan Pertanyakan Konsistensi Pemerintah
Kritik serupa juga disampaikan Joe Salim, perwakilan perusahaan mitra PTPN. Ia menyebut langkah KLHK menimbulkan ketidakpastian hukum dan merusak kepercayaan pengusaha kepada pemerintah.
“Kami sudah melaksanakan kewajiban kepada PTPN yang notabene anak perusahaan BUMN. Mengapa justru pemerintah sendiri yang menekan kami? Jika kerja sama dengan pemerintah berakhir seperti ini, siapa lagi yang bisa dipercaya?” ungkapnya.
Joe juga menyoroti absennya peran Pemerintah Kabupaten Bogor. “Seharusnya pemda hadir sebagai pendamping masyarakat, bukan membiarkan rakyat berjalan sendiri di tengah kebijakan pusat yang menekan,” tambahnya.
Potensi Gejolak Sosial
Apabila penutupan usaha benar-benar diterapkan, ribuan tenaga kerja berisiko kehilangan mata pencaharian. Kondisi ini dapat menimbulkan masalah sosial serius berupa pengangguran massal, meningkatnya angka kemiskinan, hingga keresahan masyarakat.
Dalam konteks hukum, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) memberikan dasar kewenangan bagi KLHK untuk menindak pelanggaran lingkungan.
Pasal 76 ayat (1) UU 32/2009 menyebutkan: “Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota dapat memberikan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan apabila dalam pengawasan ditemukan pelanggaran.”
Namun, perlindungan terhadap pekerja juga diatur tegas.
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 4 menegaskan: “Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja.”
Sementara Pasal 151 ayat (1) menyatakan: “Pengusaha, pekerja, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.”
Kewajiban pemerintah daerah pun jelas.
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 12 ayat (2) menegaskan bahwa urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi pekerjaan umum, lingkungan hidup, serta ketenagakerjaan.
Artinya, kepala daerah memiliki tanggung jawab langsung untuk melindungi kesejahteraan masyarakatnya.
Negara Wajib Hadir
Dari perspektif hukum, jelas bahwa penegakan aturan lingkungan harus berjalan seiring dengan kewajiban melindungi pekerja dan keberlanjutan sosial. Negara tidak boleh hadir hanya sebagai “pemberi sanksi”, tetapi juga wajib memberikan solusi agar masyarakat tetap bisa bekerja tanpa merusak lingkungan.
Kini masyarakat Bogor menunggu sikap pemerintah. Apakah negara akan hadir sebagai pelindung rakyat, atau sekadar menjadi penegak aturan yang kehilangan rasa keadilan?
Keputusan KLHK akan menjadi penentu arah: menjadi pengayom rakyat atau justru meninggalkan ribuan pekerja dalam ketidakpastian.