
Editorial: Dari Tunjangan Dewan ke Krisis Kepercayaan Publik, Berita Top Line – Gelombang aksi yang bermula pada Senin, 25 Agustus 2025, di sekitar Kompleks DPR/MPR, Jakarta, memantulkan satu pesan: negara gagap mengelola hak-hak demokratis warganya—kebebasan berpendapat, berekspresi, dan memperoleh informasi.
Aksi yang awalnya menyoroti privilese dan tunjangan anggota DPR melebar menjadi amarah atas dugaan kekerasan aparat, khususnya setelah tewasnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring, yang terlindas kendaraan taktis saat bentrokan di Jakarta pada 28 Agustus.
Sejak itu, eskalasi terjadi di berbagai daerah: bentrokan, penangkapan ratusan orang, gedung-gedung pemerintahan daerah terbakar, hingga jatuhnya korban jiwa di Makassar.
Pada 30 Agustus, Reuters dan Washington Post melaporkan pembakaran gedung DPRD di beberapa provinsi dan korban tewas terkait kebakaran; kepolisian menegaskan perintah penegakan hukum tegas.
Platform digital seperti TikTok sampai menangguhkan fitur LIVE untuk pasar Indonesia sebagai langkah kehati-hatian. Ini bukan sekadar protes, melainkan krisis legitimasi tata kelola.
Kerangka Hukum yang Diabaikan
Konstitusi menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, mengemukakan pendapat (Pasal 28E ayat 3) serta hak berkomunikasi dan memperoleh informasi (Pasal 28F).
Hak-hak ini dipertegas oleh UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Ketika penanganan massa berujung korban jiwa dan akses informasi—termasuk transparansi kronologi dan pertanggungjawaban—tidak segera dipenuhi, negara tampak abai pada mandat hukumnya sendiri.
Inti Masalah: Akumulasi Ketidakadilan yang Meledak
• Privilese elit vs. tekanan ekonomi rakyat. Usulan atau persepsi soal tunjangan/perks DPR memantik kemarahan di tengah biaya hidup. Narasi “ketimpangan” mudah menyatu dengan isu lama: akuntabilitas, transparansi, dan layanan publik.
• Policing & akuntabilitas. Kematian Affan menjadi titik balik moral. Respons institusional—permintaan maaf, janji investigasi—harus dibuktikan dengan proses pidana yang independen dan terbuka, bukan hanya disiplin internal.
• Komunikasi krisis yang lambat dan terfragmentasi. Keterlambatan klarifikasi resmi memicu rumor dan polarisasi di media sosial—hingga platform menempuh pembatasan fitur live demi keselamatan.
Fakta Lapangan: Timeline Singkat (25–30 Agustus)
• 25/8: Aksi di DPR; polisi gunakan gas air mata & water cannon; penutupan akses memicu kemacetan; ratusan personel dikerahkan.
• 28–29/8: Tuntutan meluas; buruh & mahasiswa menyuarakan isu upah, kerja kontrak, hingga reformasi kepolisian. Tewasnya Affan memicu aksi solidaritas di Jakarta dan kota-kota lain; ratusan penangkapan dilaporkan.
• 30/8: Aksi menyebar; beberapa gedung DPRD dibakar; korban tewas di Makassar dikonfirmasi media; peringatan keamanan dikeluarkan Kedubes AS; massa masih bertahan di sekitar DPR.
Analisa Strategis: Mengapa Negara Tersandung?
• Defisit Empati Kebijakan. Simbol privilese pejabat menjadi “pemantik visual” ketidakpuasan yang menahun. Tanpa komunikasi kebijakan yang empatik dan berbasis data—mis. audit beban kerja vs. kompensasi—narasi ketidakadilan menang.
• SOP Pengendalian Massa yang Dipertanyakan. Korban sipil adalah indikator kegagalan de-eskalasi. Reformasi SOP crowd control—proporsionalitas, akuntabilitas rantai komando, dan pelabelan individu aparat—mendesak.
• Keterbukaan Informasi yang Tidak Konsisten. Di era realtime, jeda informasi resmi memperbesar ruang spekulasi. UU KIP menuntut proaktif, bukan reaktif.
Rekomendasi Kebijakan (Segera)
• Tim Investigasi Independen & Terbuka. Libatkan Komnas HAM, Ombudsman, YLBHI, akademisi forensik, dan pers sebagai pengawas publik; rilis temuan berkala—termasuk rekaman CCTV, rantai komando, serta balistik/forensik.
• Moratorium & Audit Privilese DPR. Bekukan sementara kebijakan/keistimewaan yang memicu aksi; lakukan audit partisipatif (pakar fiskal, serikat pekerja, asosiasi profesi).
• Revisi SOP Pengendalian Massa. Tegakkan prinsip “minimum force” dan dokumentasi bodycam; wajibkan penandaan jelas personel; sanksi pidana bagi pelanggaran yang menyebabkan korban jiwa.
• Perlindungan Pers & Akses Informasi. Jamin liputan tanpa intimidasi; buka kanal informasi real-time (hotline, dashboard insiden) sesuai UU KIP untuk meredam hoaks.
• Dialog Terstruktur dengan Tuntutan Substantif. Fasilitasi pertemuan tripartit (pemerintah–DPR–representasi massa: mahasiswa, buruh, pekerja gig) yang fokus pada isu upah minimum, kerja kontrak, dan pengawasan anggaran.
Penutup: Otoritas Tanpa Akuntabilitas Adalah Krisis
Negara tidak diukur dari seberapa cepat membubarkan massa, melainkan seberapa tekun memulihkan kepercayaan warga.
Mandat konstitusi jelas: hormati kebebasan berekspresi dan hak atas informasi, sekaligus lindungi keselamatan semua pihak.
Jalan keluar bukan represi, melainkan transparansi, akuntabilitas, dan dialog yang bermakna.
—
Catatan sumber informasi
• Kronologi & pemicu aksi (tunjangan/privilege DPR, eskalasi 25–29 Agustus): Reuters, Guardian, Al Jazeera, Tirto, CNBC Indonesia.
• Eskalasi 30 Agustus: pembakaran gedung DPRD, korban jiwa: Reuters & Washington Post; dampak platform: Reuters.
• Penangkapan & kritik atas represi: Hukumonline.
• Peringatan keamanan & situasi terkini di Jakarta: Kedubes AS & Tempo.
• Landasan hukum: UUD 1945 Pasal 28E & 28F; UU 9/1998; UU 14/2008.
Oleh: Kostman, SH, Pimpinan Redaksi Berita Top Line dan Advokat