BOGOR, BERITA TOP LINE — Ketegangan kembali mencuat di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, setelah sejumlah tempat usaha milik warga lokal dibongkar oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Bangunan-bangunan tersebut berdiri di atas lahan PT Perkebunan Nusantara I Regional 2 (PTPN I Reg 2) melalui skema Kerja Sama Operasional (KSO) yang sah.
Warga menyebut penertiban ini sebagai bentuk ketidaksinkronan antarinstansi pemerintah, yang berdampak langsung pada kelangsungan ekonomi rakyat kecil.

“Usaha warga berdiri di lahan KSO yang sah. Mereka bukan pelaku ilegal, tapi kini justru dibebani untuk membongkar sendiri bangunan mereka karena takut dianggap melawan hukum,” ujar Dede Rahmat, Juru Bicara Karukunan Wargi Puncak (KWP), Minggu (6/7).
Tidak Merata dan Berat Sebelah
Pembongkaran diketahui tidak dilakukan secara menyeluruh. Beberapa pelaku usaha hanya mampu membongkar sebagian karena keterbatasan dana, tenaga, dan usia. Lokasi terdampak berada di Desa Citeko dan Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua.
“Warga sudah bersikap kooperatif, tapi merasa tidak mendapatkan keadilan,” lanjut Dede.
Dukung Ketahanan Pangan, Tapi Malah Tergusur
Ironisnya, beberapa pelaku usaha yang terdampak justru tengah aktif menjalankan program pertanian dan peternakan dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, serta kebijakan pemerintah dalam memperkuat ekonomi berbasis masyarakat.
“Kami sedang jalankan program ketahanan pangan. Tapi usaha kami justru ditekan dan dianggap ilegal. Kalau pemerintah mau membina, kami terbuka,” tambahnya.
Ketimpangan Penegakan Hukum
Ketua Aliansi Masyarakat Bogor Selatan (AMBS), Muksin, turut menyoroti dugaan perlakuan diskriminatif. Ia menilai KLHK terlalu keras kepada rakyat kecil, namun abai terhadap bangunan besar tak berizin di kawasan yang sama.
“Vila-vila besar yang kuasai lahan puluhan hektare dibiarkan. Tapi kios dan warung warga kecil justru dibongkar duluan,” tegasnya.
Pemkab Bogor Dinilai Tidak Responsif
Kritik juga ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Bogor yang dianggap pasif dan tidak turun langsung menyelesaikan polemik ini.
“Rakyat kehilangan mata pencaharian, tapi pejabat daerah sibuk seremonial. Ini bentuk pembiaran,” ujar Muksin.
Risiko Gejolak Sosial dan Ekonomi
Dengan terhentinya aktivitas ekonomi di Puncak, masyarakat kini menghadapi ancaman krisis pendapatan. Sektor wisata lesu, hotel kosong, dan usaha masyarakat hancur.
“Jika kondisi ini terus dibiarkan, bisa memicu gejolak sosial yang tidak kita inginkan,” imbuh Dede.
KWP dan AMBS meminta evaluasi menyeluruh terhadap penertiban di kawasan Puncak, serta mendorong sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan BUMN agar kebijakan pembangunan berkelanjutan tetap menjunjung keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.