Bogor, BERITA TOP LINE — Pemerintah Kabupaten Bogor mengesahkan tiga Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) strategis dalam Rapat Paripurna, masing-masing terkait Pajak dan Retribusi Daerah, Penyelenggaraan Keolahragaan, dan Sistem Drainase.

Jika Anda memerlukan versi grafis untuk media sosial atau publikasi lain, saya siap bantu juga.
Namun, kebijakan ini menuai kritik tajam dari masyarakat kawasan selatan, khususnya wilayah Puncak, yang merasa terabaikan dari agenda pembangunan.
Karukunan Wargi Puncak (KWP) menilai ketiga Raperda tersebut gagal menjawab kebutuhan dan tantangan yang dihadapi masyarakat Puncak sebagai kawasan pariwisata strategis sekaligus zona rawan bencana.
“Ini bukan sekadar abai, ini bentuk marginalisasi sistematis. Puncak hanya dijadikan etalase, bukan bagian dari etalase kebijakan,” tegas Dede Rahmat, Sekretaris KWP, Jumat (24/5/2025).
Menurut Dede, pihaknya telah mengajukan permohonan audiensi dengan Pemerintah Kabupaten Bogor, namun tidak mendapatkan respons. Padahal, kondisi infrastruktur yang rusak, drainase minim, fasilitas publik yang terbengkalai, serta beban pajak bagi pelaku UMKM lokal menjadi persoalan nyata yang tak kunjung diatasi.
Desakan atas Keadilan Regulasi
Kritik senada datang dari pakar hukum tata negara Prof. Dr. Mahfud MD, yang menyoroti pentingnya pemerataan pembangunan dalam sistem otonomi daerah.
“Otonomi daerah bukan hanya soal pembagian kewenangan administratif, tetapi juga pemerataan akses dan keadilan pembangunan bagi seluruh wilayah,” ujarnya.
Pandangan tersebut selaras dengan semangat Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mewajibkan pemerintah daerah untuk menjamin pemerataan pembangunan dan pelayanan publik secara adil.
Ancaman Ekologis dan Ketimpangan Ekonomi
Sementara itu, akademisi lingkungan dari IPB University, Dr. Yudi Setiawan, M.Env.Sc., menegaskan bahwa Puncak adalah kawasan strategis yang terancam kehancuran ekologis apabila tata kelola pariwisata terus diabaikan.
“Puncak memiliki fungsi lingkungan hidup yang vital. Tanpa kebijakan partisipatif, krisis ekologis hanya tinggal menunggu waktu,” ungkap Yudi.
Kepala Divisi Business Development KWP, Joe Salim, menambahkan bahwa pelaku usaha lokal juga terkena dampak langsung dari kebijakan yang tidak inklusif.
“UMKM Puncak hidup dari ekosistem pariwisata. Ketika tidak ada perlindungan dan kemudahan regulasi, daya saing mereka runtuh,” jelas Joe.
Tuntutan: RIKKP dan Perlindungan UMKM
KWP mendesak agar Pemkab Bogor segera menyusun Rencana Induk Kepariwisataan Kawasan Puncak (RIKKP) berbasis keberlanjutan dan inklusivitas.
Selain itu, mereka menuntut adanya relaksasi pajak bagi pelaku UMKM, serta revitalisasi fasilitas publik seperti Pasar Cisarua, Rest Area Gunung Mas, puskesmas, dan sekolah negeri.
“Rakyat jangan cuma jadi dekorasi rapat. Kalau suara kami terus diabaikan, jangan salahkan jika kepercayaan publik semakin menipis,” pungkas Joe Salim.