JAKARTA, Berita Top Line – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mendorong percepatan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah TelantarTanah Telantar.
Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari upaya memperkuat kepastian hukum serta mendukung arah kebijakan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, di sektor agraria dan pertanahan nasional.
Hal tersebut ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian ATR/BPN, Pudji Prasetijanto Hadi, dalam Rapat Penyusunan Revisi PP 20/2021 yang digelar di Kantor Kementerian ATR/BPN pada Jumat, 16 Mei 2025.
Dalam arahannya, Pudji menyampaikan bahwa perubahan regulasi menjadi sangat penting agar aturan yang diterbitkan selaras dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.
“Saya berharap revisi PP 20 Tahun 2021 ini tidak menyalahi hierarki peraturan di atasnya, supaya pelaksanaannya di lapangan berjalan aman, tertib, dan terhindar dari konflik hukum,” ujar Pudji.
Dalam konteks hukum dan tata pemerintahan, keberadaan regulasi yang kuat dan tidak tumpang tindih sangat diperlukan untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kebijakan.
Pudji yang juga berlatar belakang sebagai anggota Kepolisian Republik Indonesia menyampaikan pengalamannya bahwa banyak sengketa hukum terjadi akibat lemahnya sinkronisasi regulasi.
Oleh karena itu, menurutnya, penyusunan ulang PP 20/2021 perlu dilakukan secara cermat dan kolaboratif.
“Sering kali masalah muncul bukan karena niat buruk pelaksana di lapangan, tetapi karena payung hukumnya lemah atau bertentangan dengan aturan di atasnya. Ini yang harus kita hindari,” tegasnya.
Lebih lanjut, Pudji menyebutkan bahwa revisi PP ini juga menjadi langkah konkret Kementerian ATR/BPN dalam menangani persoalan mafia tanah, yang hingga kini masih menjadi tantangan utama dalam pengelolaan tanah negara.
Ia menegaskan bahwa instruksi Menteri ATR/Kepala BPN menitikberatkan pada kesamaan persepsi dalam tim penyusun, agar pelaksanaan aturan tersebut memberikan perlindungan hukum bagi seluruh pemangku kepentingan di lapangan.
“Kita tidak ingin para pelaksana di daerah yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan pelaku usaha justru menjadi pihak yang dirugikan karena kekosongan hukum. Maka penting bagi kita menyamakan pemahaman tentang pasal-pasal yang krusial,” katanya.
Sebagai bagian dari proses penyusunan yang inklusif, Pudji juga meminta agar seluruh direktorat teknis dan jajaran direktur jenderal terkait segera mengidentifikasi dan membahas pasal-pasal yang perlu direvisi.
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas kementerian dan lembaga agar substansi perubahan dapat mengakomodasi berbagai aspek strategis, termasuk percepatan pembangunan, keadilan agraria, serta pemberantasan praktik-praktik penyimpangan dalam pengelolaan tanah negara.
Adapun payung hukum yang menjadi acuan dalam revisi ini adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menegaskan prinsip penguasaan dan pemanfaatan tanah oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selain itu, revisi PP ini juga harus mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo. UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, guna menjaga konsistensi hierarki norma hukum.

“Kita semua berniat baik untuk bangsa dan negara. Maka mari samakan persepsi dan arah kita dalam menyusun revisi ini, agar bisa benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” tutup Pudji.
Pertemuan ini turut dihadiri oleh sejumlah Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama Kementerian ATR/BPN serta perwakilan dari berbagai kementerian dan lembaga terkait yang bergabung secara daring.
Kolaborasi ini diharapkan menghasilkan revisi peraturan yang tidak hanya sesuai dengan prinsip hukum tata negara, tetapi juga relevan dengan dinamika kebutuhan pembangunan nasional saat ini.