TOP LINE – Kabupaten Bogor – KWP Soroti PTPN, Manajemen PTPN VIII Gunung Mas, yang kini dikenal sebagai PTPN 1 Regional 2, tengah menjadi sorotan tajam terkait dugaan pelanggaran aturan pengelolaan lahan di kawasan Puncak.
Perusahaan ini, yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) seluas 1.623 hektar untuk perkebunan teh, kini hanya mengelola sekitar 700 hektar lahan aktif setelah perpanjangan HGU pada tahun 2023.

Namun, lebih dari 50% lahan tersebut telah dialihfungsikan menjadi destinasi wisata oleh 32 perusahaan yang bekerja sama dengan PTPN.
Joe Salim, seorang aktivis dari Karukunan Wargi Puncak (KWP), mengecam tindakan PTPN yang dinilainya telah mengabaikan tanggung jawab dalam menjaga aset negara dan lingkungan.
Menurut Joe Salim Kepada Top Line 13/9/2024, alih fungsi lahan yang masif ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga merusak ekosistem di kawasan Puncak.
Dari 900 hektar lahan teh yang hilang, sebagian besar kini berubah menjadi lahan tidak produktif yang dikuasai oleh para pengembang tanah.
Lebih lanjut, Salim menyoroti upaya PTPN yang berencana mencaplok Kampung Naringgul, sebuah kampung yang memiliki nilai sejarah dan budaya tinggi.
Kampung ini, yang telah ada sejak tahun 1760—jauh sebelum berdirinya perkebunan teh di bawah kekuasaan Belanda—dianggap oleh manajemen PTPN sebagai bagian dari HGU.
Rencana “penataan” yang diajukan PTPN dikecam oleh warga dan aktivis, karena dinilai sebagai bentuk arogansi perusahaan yang merendahkan hak-hak masyarakat lokal.
Salim menekankan pentingnya semua pihak, termasuk manajemen PTPN, pemerintah desa, hingga pemerintah pusat, untuk mengutamakan aturan hukum dan melindungi hak-hak rakyat dalam menghadapi konflik ini.
Ia mengingatkan bahwa klaim lahan tanpa dasar hukum yang kuat, apalagi terhadap lahan yang memiliki nilai budaya dan sejarah, merupakan tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Salim, alih fungsi lahan di kawasan Puncak tidak hanya berdampak pada hilangnya hamparan hijau, tetapi juga mengancam keberadaan lahan resapan yang penting bagi konservasi lingkungan.
Jika dibiarkan, ekosistem Puncak yang dikenal sebagai paru-paru Jawa Barat akan semakin terancam, membawa dampak buruk bagi masyarakat luas.
Di tengah isu ini, Salim dan KWP mendesak pemerintah untuk segera turun tangan dan meninjau ulang izin serta kegiatan yang dilakukan oleh PTPN.
Sebagai langkah preventif, ia juga meminta pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap alih fungsi lahan di wilayah yang memiliki nilai strategis dan lingkungan.
Terkait peristiwa ini, penting untuk merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang mengatur tentang hak-hak rakyat atas tanah.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan HP juga menjadi acuan utama dalam penentuan status tanah dan pengelolaannya.
Keputusan untuk alih fungsi lahan yang dilakukan oleh PTPN harus mengacu pada peraturan ini dan mempertimbangkan dampak sosial, budaya, serta lingkungan yang ditimbulkan.